Laman

Wednesday 28 December 2011

Wawasan sosial budaya maritim " kearifan lokal"

Daftar isi

Kata pengantar
Daftar isi
a.    Pengertian kearifan local ( local wisdom )
b.    Fungsi dan wujud kearifan local
1.    Kearifan local tidak sekadar  sebagai acuan tingkah laku
2.    Wujud kearifan local

c.    Kearifan local nusantara dan kemungkinan perubahannya
1.    Asal usul budaya nusantara
2.    Perubahan sebagai keniscayaan

d.    Pengaruh lintas budaya dan globalisasi
1.    Benturan nilai dan relativitas budaya
2.    Globalisasi
3.    Tantangan penggalian dan peluang analisisnya
Penutup
Daftar pustaka




Kata Pengantar

Menurut UU Nomor 4 Tahun 1982 yang disebut lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.1 Mencermati Undang-undang di atas, mengisyaratkan bahwa posisi manusia menjadi sangat penting dan strategis. Manusia menjadi kunci perubahan dalam lingkungannya karena manusia dan tingkah-lakunya mampu mempengaruhi kelangsungan hidup seluruh makhluk yang ada. Akan tetapi, melalui lingkungannya ini pula tingkah-laku manusia ditentukan sehingga sebenarnya ada hubungan timbal-balik yang seimbang antara manusia dengan lingkungannya.
Pada masa kini kearifan lokal menjadi kecenderungan umum masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik terbaik. Membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down.3 Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menggali lebih banyak kearifan-kearifan lokal sebagai alat atau cara mendorong pembangunan daerah sesuai daya dukung daerah dalam menyelesaikan masalah-masalah daerahnya secara bermartabat.
Namun demikian, tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan relevansi kearifan lokal di tengah-tengah perjuangan umat manusia menatap globalisasi. Apakah kearifan lokal sebagai sistem pengetahuan manusia itu logis atau sekadar mitos. Apakah kearifan lokal itu benar-benar berpijak pada realitas empiris atau sekadar spekulasi orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Tulisan ini mencoba untuk menjawab keraguan di atas dengan pendekatan yang relevan.



Pendahuluan
Menurut UU Nomor 4 Tahun 1982 yang disebut lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.1 Mencermati Undang-undang di atas, mengisyaratkan bahwa posisi manusia menjadi sangat penting dan strategis. Manusia menjadi kunci perubahan dalam lingkungannya karena manusia dan tingkah-lakunya mampu mempengaruhi kelangsungan hidup seluruh makhluk yang ada. Akan tetapi, melalui lingkungannya ini pula tingkah-laku manusia ditentukan sehingga sebenarnya ada hubungan timbal-balik yang seimbang antara manusia dengan lingkungannya.
Hubungan yang seimbang antara keduanya akan mampu menyajikan kehidupan harmonis yang mempersyaratkan semua yang menjadi bagian lingkungan untuk tidak saling merusak. Sesungguhnya manusia dan lingkungannya adalah gambaran hidup sistemis sempurna yang pada dasarnya untuk kepentingan manusia itu sendiri.2 Manusia membutuhkan tumbuhan untuk kelangsungan pernafasan karena tumbuhan menjadi produsen oksigen tetap sepanjang masa. Dengan tumbuhan-tumbuhan manusia makan dan minum karena pada tumbuhan ini air tersimpan sempurna dalam tanah dan manusia dapat menggunakan tumbuhan itu secara langsung. Oleh karena itu, agar harmonisasi kehidupan ini tercipta dan tetap terjaga, kita harus bersikap dan berperilaku arif terhadap lingkungan.
Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagaimana perlakuan kita terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di sekitar kita. Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi kita sehingga dari perlakuan-perlakuan tersebut dapat tergambar hasil dari aktivitas budi kita. Akumulasi dari hasil aktivitas budi dalam menyikapi dan memperlakukan lingkungan disebut pengetahuan lokal atau biasa disebut kearifan lokal. Kearifan lokal ini menggambarkan cara bersikap
dan bertindak kita untuk merespon perubahan-perubahan yang khas dalam lingkup lingkungan fisik maupun kultural.
Pada masa kini kearifan lokal menjadi kecenderungan umum masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan politik terbaik. Membangkitkan nilai-nilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Selama ini, kearifan lokal tiarap bersama kepentingan pembangunan yang bersifat sentralistik dan top down.3 Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menggali lebih banyak kearifan-kearifan lokal sebagai alat atau cara mendorong pembangunan daerah sesuai daya dukung daerah dalam menyelesaikan masalah-masalah daerahnya secara bermartabat.
Namun demikian, tidak sedikit kalangan yang mempertanyakan relevansi kearifan lokal di tengah-tengah perjuangan umat manusia menatap globalisasi. Apakah kearifan lokal sebagai sistem pengetahuan manusia itu logis atau sekadar mitos. Apakah kearifan lokal itu benar-benar berpijak pada realitas empiris atau sekadar spekulasi orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Tulisan ini mencoba untuk menjawab keraguan di atas dengan pendekatan yang relevan.


materi

PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM)
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua
kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John
M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya.

Local Genius sebagai Local Wisdom
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini
merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para
antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat
Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local
genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli
4. mempunyai kemampuan mengendalikan
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www.
balipos.co.id, didownload 17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local
genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan
berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya
masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal
merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam
Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan
lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar
pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara
tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga
dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Dalam penjelasan tentang ‘urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003
menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-
‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah al-jahiliyyah. Kearifan
adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal
serta dianggap baik oleh ketentuan agama.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai
baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang
dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak
dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara
terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap
baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila
terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara
alamiah tetapi dipaksakan.








Fungsi dan Wujudnya
1. Kearifan Lokal Tidak Sekadar sebagai Acuan Tingkah Laku
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama.4 Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai P3M STAIN Purwokerto | Nurma Ali Ridwan 3 Ibda` | Vol. 5 | No. 1 | Jan-Jun 2007 |27-38
acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban.
Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya.5 Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.

2. Wujud Kearifan Lokal
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama.6 Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif.7 Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alon-alon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.

Kearifan local nusantara dan kemungkinan perubahannya
1.    Asal-usul Budaya Nusantara
Pendapat seputar asal-usul budaya Nusantara antara lain dapat dilihat dalam
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud 2.html. Uraian
cukup lengkap yang menggambarkan kekayaan budaya Nusantara dari sisi
unsur-unsurnya dapat dibaca dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
(Koentjaraningrat, 1999).
Menurut Fuad Hasan, budaya Nusantara yang plural merupakan kenyataan
hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. Kebhinekaan ini harus
dipersandingkan bukan dipertentangkan. Keberagaman ini merupakan
manifestasi gagasan dan nilai sehingga saling menguat dan untuk meningkatkan
wawasan dalam saling apresiasi. Kebhinekaannya menjadi bahan perbandingan
untuk menemukan persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai
kebajikan dan kebijaksanaan (virtue and wisdom). Pandangannya tentang budaya
Nusantara ini dapat diakses di http://kongres.budpar.go.id/news/articke/Pokokpokok
bahasan.htm.
Beberapa sumber dapat dilacak untuk melihat budaya Jawa, antara lain
sebagai berikut. Pembagian corak budaya Nusantara yang terdiri dari: budaya
Melayu, Budaya Jawa, dan non-Jawa non-Melayu dapat diakses dalam
http://www.indonesiamedia.com/2004/05/early/budaya/budaya-0504-
bhineka.htm. Kekayaan budaya Nusantara yang lain dalam hal bahasa, kesenian,
agama dan perkembangan hukum dapat diakses ke
http://202.159.18.43/data/sos.htm. Informasi lebih dalam konteks pusat budaya
Jawa, lingkup istana, tentang semangat berbudaya Jawa dan pandanganpandangannya
dapat diakses ke http://www.Jawapalace.org/kami.html




2.    Perubahan sebagai Keniscayaan
Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau
kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kegiatan manusia memperlakukan
lingkungan alamiahnya, itulah kebudayaan. Kebudayaan merupakan usaha
manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari
depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan
direncanakan (Van Peursen, 1976:10-11). Oleh sebab itu dituntut adanya
kemampuan, kreativitas, dan penemuan-penemuan baru. Manusia tidak hanya
membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru
dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju
dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi
menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Ali Moertopo,1978;12).
Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan
mengalami reinforcement secara terus-menerus menjadi yang lebih baik. Ali
Moertopo mengatakan bahwa humanisasi merupakan ideal proses dan tujuan
kebudayaan. Oleh karena itu maka kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan
yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya menunjukkan
sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya
sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia
mengalami penguatan secara terus-menerus. Tetapi, apakah ia akan tetap menjadi
dirinya tanpa perubahan, benturan kebudayaan akan menjawabnya.
Dinamika kebudayaan merupakan suatu hal yang niscaya. Hal ini tidak
lepas dari aktivitas manusia dengan peran akalnya. Dinamika atau perubahan
kebudayaan dapat terjadi karena berbagai hal. Secara fisik, bertambahnya
penduduk, berpindahnya penduduk, masuknya penduduk asing, masuknya
peralatan baru, mudahnya akses masuk ke daerah juga dapat menyebabkan
perubahan pada kebudayaan tertentu. Dalam lingkup hubungan antar manusia,
hubungan individual dan kelompok dapat juga mempengaruhi perubahan
kebudayaan. Satu hal yang tidak bisa dihindari bahwa perkembangan dan
perubahan akan selalu terjadi. Di kalangan antropolog ada tiga pola yang
dianggap paling penting berkaitan dengan masalah perubahan kebudayaan:
evolusi, difusi, dan akulturasi. Landasan dari semua ini adalah penemuan atau
inovasi. (Lauer, 1993:387). Perubahan pada budaya Nusantara sendiri akan
merupakan suatu wacana yang maha luas akibat pengertian dan ranah budaya
Nusantara sendiri yang sangat luas.
Dalam perjalanannya, budaya Nusantara, baik yang masuk kawasan istana
atau di luar istana, tidak statis. Ia bergerak sesuai dengan perkembangan jaman.
Dengan adanya kontak budaya, difusi, assimilasi, akulturasi sebagaimana
dikatakan sebelumnya, nampak bahwa perubahan budaya di masyarakat akan
cukup signifikan.
Salah satu kajian tentang perubahan masyarakat Jawa, yang sudah
semestinya mengubah tatanan dan aspek-aspek budayanya tampak dalam karya
Niels Mulder (1985) yang berjudul Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Masih
banyak lagi kajian tentang pergeseran dan perubahan budaya yang harus
dieksplorasi lebih lanjut. Soerjanto Poespowardoyo (1993: 63-72), juga
menjelaskan bagaimana perubahan budaya sebagai akibat orientasi nilai budaya
yang berubah ini serta langkah-langkah kebijakan yang dapat dilakukan.

Pengaruh Lintas Budaya dan Globalisasi
1. Benturan nilai dan relativitas budaya
Individu dan kelompok masyarakat biasanya menganut nilai sendirisendiri.
Bila terjadi pertemuan di antaranya dan satu dengan yang lain nampak
tidak cocok, maka pihak yang satu biasanya merasa benar dan menyalahkan
pihak yang lain. Apabila satu dianggap salah oleh yang lain maka ini
menunjukkan bahwa tindakan-tindakan kultural bukan semata-mata bersifat
subjektif atau pribadi tetapi lebih menjadi bersifat intersubjektif. Individu
sesungguhnya tidak bertindak sendiri. Makna suatu tindakan adalah makna yang
ditanggapi bersama dengan orang lain. Makna ini didasarkan pada asumsi-asumsi
tindakan kultural. Oleh karenanya penilaian kultural menjadi relatif (meskipun
dalam konteks etis ada pihak yang mengambil posisi relativisme etis dan
absolutisme moral, dan menurut pandangan teologi, di atas relativitas tersebut
yang mutlak adalah kebenaran Tuhan). Dalam budaya tertentu orang mungkin
harus mengagung-agungkan dirinya di depan umum dalam rangka memberi
semangat rakyat, tetapi dalam budaya yang lain tindakan tersebut mungkin
dianggap sombong atau bahkan dilarang (Adeney, 1995: 16-17). Dari penjelasan
ini dapat kita pahami bahwa dalam aneka ragam budaya dengan segenap nilai
kulturalnya, ada pemahamanan yang tidak selalu sama antara yang dianggap baik
di pihak yang satu yang berbeda dengan penilaian pihak lain.
Hal yang menjadikan masing-masing orang atau kelompok orang berbedabeda
dan menilai sesuatu secara berbeda adalah karena orientasi nilai masingmasing
mereka yang berbeda. Perbedaan latar belakang dan orientasi budaya
inilah yang sering menyebabkan terjadinya konflik. Oleh karena itu perlu masingmasing
orang atau kelompok orang menyadari perbedaan orientasi nilai budaya
ini. Tentang bagaimana orang yang berbeda nilai budaya ini dapat saling
memahami dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan jalan dialog.
Tentang orientasi nilai budaya secara lengkap dapat dilihat pada model kuantum
individu, sosial, dan kosmos (Adeney, 2000:377-379). Data dimaksud dipakai
sebagai upaya memahami aneka pemahaman dan konsentrasi tiap inidvidu atau
kelompok pada orientasi budaya tertentu. Jelas disini bahwa orientasi yang
berbeda antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain akan
menyebabkan bagaimana mereka menilai sesuai juga akan berbeda. Dalam
konteks kearifan lokal, penjelasan ini memungkinkan akan adanya spesifikasi
dari masing-masing budaya lokal yang muncul dan dapat diwacanakan.

2.. Globalisasi
Globalisasi adalah suatu keadaan, tetapi juga suatu tindakan di mana
aktivitas kehidupan tidak lokal dalam suatu negara tetapi mendunia. Hal ini dapat
dilihat pada istilah ekonomi global ketika transaksi ekonomi dilakukan lintas
negara secara massal. Istilah komunikasi global juga kita temukan ketika kita
berbincang-bincang tentang penggunaan internet sebagai media komunikasi yang
dapat mengakses berita dari seluruh dunia tanpa ada aturan yang terlalu ketat.
Globalisasi bukan gejala baru, bahkan negara-negara maju untuk masa
sekarang ini sudah menggunakan istilah globalisasi baru (new globalism). Bagi
Indonesia dan negara-negara Asia, globalisasi masih merupakan pengalaman
baru. Globalisasi sebagai gejala perubahan di masyarakat yang hampir melanda
seluruh bangsa sering dianggap ancaman dan tantangan terhadap integritas suatu
negara (Hadi Soesastro dalam Jacob Oetama, 2000:;36). Dengan demikian bila
suatu negara mempunyai identitas lokal tertentu, dalam hal ini kearifan lokal, ia
tidak mungkin lepas dari pengaruh globalisasi ini (lihat juga Seabrook, 2004).
Dalam lingkungan yang pesimistik, globalisasi menyebabkan adanya
globalophobia, suatu bentuk ketakutan terhadap arus globalisasi sehingga orang
atau lembaga harus mewaspadai secara serius dengan membuat langkah dan
kebijakan tertentu. Bagaimana pun globalisasi merupakan suatu yang tidak dapat
dihindari sehingga yang terpenting adalah bagaimana menyikapi dan
memanfaatkan secara baik efek global sesuai dengan harapan dan tujuan hidup
kita. Dalam hal kearifan lokal Nusantara, bagaimana kearifan lokal tetap dapat
hidup dan berkembang tetapi tidak ketinggalan jaman. Bagaimana kearifan lokal
dapat mengikuti arus perkembangan global sekaligus tetap dapat
mempertahankan identitas lokal kita, akan menyebabkan ia akan hidup terus dan
mengalami penguatan. Kearifan lokal sudah semestinya dapat berkolaborasi
dengan aneka perkembangan budaya yang melanda dan untuk tidak larut dan
hilang dari identitasnya sendiri.

3. Tantangan Penggalian dan Peluang Analisisnya
Uraian di atas diharapkan dapat menunjukkan adanya lahan subur untuk
penggalian kearifan lokal Nusantara. Luasnya budaya dan kemungkinan
pengembangannya menjadi tantangan tersendiri. Di samping itu perspektif
perubahan yang terjadi juga menjadi peluang tersendiri untuk menelusuri
eksistensinya. Dari unsur internalnya sendiri sampai yang eksternal seperti
pengaruh lintas budaya dan globalisasi.
Ada banyak hal untuk menjelaskan bagaimana pengaruh hubungan lintas
budaya dan globalisasi mempengaruhi kearifan lokal. Dalam perspektif nilai hal
tersebut dapat dilihat misalnya dalam nilai etis, apa yang dianggap baik pada
budaya masa lalu tidak tentu demikian untuk masa sekarang. Apa yang dianggap
wajar dan diterima pada budaya masa lalu mungkin sekarang dianggap aneh, atau
sebaliknya. Kita dapat melihat bagaimana orang menanggapi cara berpakaian
jaman sekarang, dengan model pakaian (agak) terbuka itu dianggap wajar, tetapi
tidak demikian dengan orang dulu. Begitu juga bagaimana laki-laki dan
perempuan bergaul, berbeda baik menurut pengertian budaya orang dulu dengan
orang sekarang. Hal-hal tersebut menunjukkan betapa kearifan lokal itu mendapat
banyak tantangan dengan adanya pengaruh budaya asing. Peluang penggalian dan
analisis dapat juga dilihat dari aspek nilai lain di bawah ini.
Dalam konteks nilai religi, hubungan antara religi dan perkembangan
budaya juga menunjukkan hal serupa. Bagaimana keberagamaan (bereligi) orang
Bali berubah akibat pengaruh luar. Antara lain pergeseran ini menyebabkan
penampilan budaya Bali menjadi berbeda antara dulu dan sekarang dan yang
akan datang. Informasi populer tentang hal ini dapat dilihat pada tulisan dengan
judul Antara Agama dan Budaya dalam http://www.iloveblue.com/bali
funky/artikel_nali/detail/1099.htm. Bagaimana nilai tertentu terkait dengan
kehidupan religius lokal bertemu dengan budaya asing di Arab sendiri dan di
Indonesia dapat dilihat pada tulisan Islam dan Akulturasi Budaya Lokal dalam
http://media.isnet.org/islam/gtc/Akulturasi.html. Dijelaskan bahwa dalam
akulturasi budaya Arab dan Islam tidak ada pengharaman untuk tidak
memanfaatkan budaya asing dan sebaliknya.
Dalam kasus Indonesia juga dijelaskan bagaimana Islam yang berkarakter
dinamis, elastis, dan akomodatif dengan budaya lokal dapat berjalan bersama dan
mengutip Gus Dur, terjadi pribumisasi Islam. Di dalamnya dicontohkan
bagaimana konflik budaya material Masjid Demak juga merupakan bentuk
adaptasi budaya. Bagaimana tradisi Syi’ah dapat memberikan corak khusus bagi
Islam di Ternate juga merupakan hasil pertemuan budaya. Kajian ini dapat dilihat
pada tulisan Smith Al-Hadar dengan judul Sejarah dan Tradisi Syi’ah Ternate di
http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm.
Dalam konteks nilai intelektual misalnya masalah kesehatan dalam
penyembuhan penyakit, Nusantara sangat kaya dari pangalaman intelektual
tentang pengobatan dengan obat tradisional sampai yang memanfaatkan kekuatan
supranatural. Tidak kalah dengan kearifan lokal Thailand dalam bidang keahlian
dan cara pengobatan ini sebagaimana dapat diakses pada dua situs yang memuat
abstrak penelitian yaitu http://www.chiangmai.ac.th/abstract1999/cgs/abstract
/cgs990029.html. dan http: //www.chiangmai.ac.th/abstract1999//edu/abstract
/edu9900108.html.
Ada banyak peluang untuk pengembangan wacana kearifan lokal
Nusantara. Dari beragam bentuk dan fungsinya dapat dilihat pada pemaparan di
bagian depan tulisan ini. Di samping itu kearifan lokal dapat didekati dari nilainilai
yang berkembang di dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis,
intelektual atau bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka
kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang cukup subur untuk digali,
diwacanakan dan dianalisis mengingat faktor perkembangan budaya terjadi
dengan begitu pesatnya. Pengembangan kuliah dan kajian ala Hairudin Harun
dalam “Weltanschaung Melayu dalam era Teknologi Informasi: Komputer
menjadi Teras atau Puncak Tewasnya Pemikiran Tradisional Melayu?” dapat
memberi inspirasi bagaimana kita harus berpikir tentang kekayaan dan eksistensi
kearifan lokal Nusantara.













Penutup

Kearifan lokal merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya. Kearifan lokal merupakan respon individu terhadap kondisi lingkungannya. Pada aras individual, kearifan lokal muncul sebagai hasil dari proses kerja kognitif individu sebagai upaya menetapkan pilihan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi mereka. Pada aras kelompok, kearifan lokal merupakan upaya menemukan nilai-nilai bersama sebagai akibat dari pola-pola hubungan (setting) yang telah tersusun dalam sebuah lingkungan.





















Daftar Pustaka

Amirudin. 2005. “Unsur Lokalitas Pilkada”, dalam Suara Merdeka, 30 Agustus 2005.
Akung, M. Ahmad. 2006. “Membincangkan Kearifan Ekologi Kita”, dalam Kompas, 30 Nopember 2006.
Mas’ud, A. 2004. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
Matsumoto, David. 2000. Budaya dan Psikologi. Belmont: Wadsworth.
Setiono, K. 2002. “Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia”, dalam Jurnal Ilmiah Psikologi: Kognisi UMS. Vol. 6, Nomor 2 Novemeber 2002.
Tiezzi, E., Marchettini, T. & Rossini, M. TT. Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp.
Wirawan, Sarlito. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo.
edu9900108.html,
didownload 7/21/04.
Dresthasuta, “Agama dan Budaya”, dalam http://www.iloveblue.com/bali_funky
/artikel_nali/detail/1099.htm, didownload 7/15/04.
Elly Burhainy Faizal, (SP Daily) 31 Oktober 2003 dalam http://www.
papuaindependent.com
Fuad Hassan, “Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia” ,
dalam http://kongres.budpar.go.id/news/article/Pokok_pokok_bahasan.htm,
didownload 7/15/04.
Hadi Soesastro dalam Jacob Oetama, 2000, Indonesia Abd XI di Tengah
Kepungan Perubahan Global, Penerbit Harian Kompas, Jakarta .
Hairudin Harun, “Weltanschaung Melayu dalam era Teknologi Informasi:
Komputer menjadi Teras atau Puncak Tewasnya Pemikiran Tradisional
Melayu?, dalam http://www.chass. utoronto.ca/epc/srb/cyber/haroutmal.
html, didownload 7/8/04.
I Ketut Gobyah, “Berpijak pada Kearifan Lokal”, dalam http://www.balipos.
co.id , didownload 17/9/03.
Irfan Salim, “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal”, dalam http://media.
isnet.org/islam/gtc/Akulturasi.html, didownload 7/15/04.
Iun, “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”, dalam http://www.balipos.
co.id
Jukraphun Pianpanussak, “Local wisdom in the ritual of Karen Community”,
dalam http://www.chiangmai.ac .th/abstract1999/cgs/abstract/cgs990029.
html. Didownload 7/21/04.
Koenjaraningrat, 1990, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia,
Jakarta.
Koentjaraningrat, 1999, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit
Djambatan, Jakarta.
Lauer, Robert H, 1993, Perspektif tentang Perubahan Sosial, alih bahasa:
Alimandan, Rineka Cipta, Jakarta.
Niels Mulder , 1985, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Sinar Harapan, Jakarta.
Seabrook, Jeremy, “ Localizing Cultures”, dalam http://globalpolicy.
igc.org/globaliz/cultural/2004/0013jeremyseabrook.htm, didownload
7/19/04
Smith Al-Hadar dengan judul Sejarah dan Tradisi Syi’ah Ternate di
http://alhuda.or.id/rub_budaya.htm.
Soerjanto Poespowardojo, 1993, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan
Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
“Sosial Budaya”, dalam http://202.159.18.43/data/sos.htm, didown load 7/15/04.
Soerjo Wicaksono, dalam http://www.Jawapalace.org/kami.html.
Pikiran Rakyat, 2003, “‘urf……”, , terbitan 6 Maret 2003
Van Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.



  Posted by:




Related Post:

Share On:

No comments:

Post a Comment

Paling Sering Dibaca